Cerpen Sedih : Penaluna merupakan sebuah Cerpen yang sangat menarik untuk di baca
, hehehehe udah tau juga belom tentang OTIK 4 Tahun 2012 Fakultas Sains dan Teknologi UIN
SUSKA Riau
yamh akan di selenggarakan di Pekanbaru merupakan ajang istimewa bagi
mahasiswa yaang
ada di riau moga temen temen ikut partisipasinya yukk
mari baca aja dech ......
Aku bersandar di dinding dapur.
Ini sudah hampir setengah jam tapi Mama ngga juga berhenti mengoceh. Aku
muak. Aku benar-benar muak dengan semua perkataan Mama. Banyak hal yang
Mama ngga tahu tentang aku. Mama cuma mengenal dan menilai aku
berdasarkan apa yang dia lihat. Dia ngga tau apa-apa tentang aku.
“Kamu itu rasioal sedikit lah,
Luna. Mau jadi apa kamu dengan mimpi-mimpi kamu itu? Papa dan Mama
pingin kamu jadi dokter. Titik. Mimpi itu ya mimpi, ngga akan untuk jadi
nyata. Ngerti kamu?” Kata Mama tanpa memandangku.
“Terserah deh, Ma. Mama ngga
tahu apa-apa.” Balasku sambil berjalan pergi meninggalkan Mama.
Perasaanku campur aduk. Banyak hal yang membuatku down saat ini. Di
sekolah, di rumah, semua orang. Kepalaku terasa sangat berat. Aku masih
ngga percaya Emma yang lolos audisi Teen Movie Maker. Emma si cewe
centil dari SMA 23 yang aku temui di tempat audisi. Sepertinya dia sama
sekali ngga punya kemampuan untuk jadi sutradara. Mungkin dia hanya bisa
memegang alat make-up. Aku yang selama ini berjuang untuk lolos audisi
itu. Aku yang setiap hari terus berlatih. Aku yang setiap saat bermimpi
untuk jadi sutradara. Aku yang selama ini kerja keras belajar segala
hal. Aku selama ini yang berjuang. Bukan dia, bukan Emma. Dia ngga tahu
apa-apa tentang bagaimana membuat film. Dia ngga tahu apa-apa. Aku yang
tahu. Aku yang selama ini mimpi untuk lolos audisi itu. Aku!
Aku membaringkan tubuhku di
tempat tidur. Kamar adalah satu-satunya tempat dimana aku bisa sendiri.
Aku ingin menghilangkan semua kekecewaan dan rasa bersalah pada diriku
sendiri. Apa salah aku ngga mau jadi dokter? Apa salah aku punya impian
sendiri? Apa salah aku ingin meraih semua hal yang selama ini aku
inginkan? Semua orang meremehkanku, bahkan orang tua dan sahabatku.
Semua orang, tapi ngga dengan Jeff. Dia laki-laki yang selama ini
mendampingiku. Dia ngga pernah meremehkanku. Dia selalu disampingku.
Tiba-tiba ponselku berbunyi.. Jeff Menelpon.
“Halo Jeff.” Sapaku ramah.
“Kamu lagi dimana, sayang? Aku cari kamu di sekolah, ternyata kamu udah pulang.” Mendengar suaranya membuatku merasa lebih baik.
“Aku di rumah.”
“Kenapa suara kamu lemes gitu? Kamu lagi nangis ya? Ada apa?”
“Eh engga kok, sayang. Aku ngga nangis. Cuman lagi kecewa aja.”
“Karena audisi Teen Movie Maker itu?”
“Iya..”
“Aku ke rumah kamu sekarang ya. Aku pingin bikin kamu senyum lagi.”
“Ada Mama di rumah, Jeff.”
“Mama kamu ngga akan apa-apa kalau aku yang datang.”
“Iya deh.”
“Tunggu ya, princess..” Jeff menutup telepon.
Aku mengambil sebendel kertas
dari dalam tas. Beberapa lembar kertas ini adalah naskah film pendekku.
Sebuah film pendek yang aku buat susah payah. Tapi semuanya sepertinya
sudah berakhir. Padahal lewat audisi Teen Movie Maker lah satu-satunya
jalanku meraih semuanya. Sutradara terkenal. Gue benar-benar
menginginkannya. Aku menggumam dalam hati, seperti biasanya. Ngga
sengaja aku menjatuhkan tas disampingku dan membuat isinya berceceran di
lantai. Semua barang-barang gue hari ini, gila banyak banget, mungkin
gue bakalan kaya kalau tiap hari dapet bayaran buat bawa semua school
stuffs ini. Aku memerhatikan sebuah buku berjudul ‘Dream Big’ diantara
buku-buku sekolahku. Buku tentang motivasi dengan sampul bergambar balon
warna-warni. Buku pemberian Manda, untuk memberiku inspirasi, katanya.
Yah, kurasa dia mulai menyemangatiku. Aku meraih buku itu. Satu persatu
halaman aku buka dengan tidak acuh. Aku terlalu malas membacanya. Kurasa
menonton film jauh lebih menyenangkan daripada membaca buku. Aku
mendengus. Tiba-tiba mataku terpaku pada sebuah halaman. Halaman 14,
kalimat yang dikutip dari Woodrow Wilson.
“Semua orang adalah pemimpi.
Mereka melihat segalanya bagaikan kabut lembayung pada musim semi, atau
sebagai api yang membakar pada malam musim dingin. Beberapa dari kita
membiarkan suatu impian mati, namun yang lain memupuk dan melindunginya,
merawatnya dalam hari-hari buruk hingga membawanya ke sinar matahari
dan juga cahaya yang selalu menghampiri mereka yang selalu berharap
impiannya akan menjadi nyata. Semua yang Anda impikan, Anda inginkan dan
Anda harapkan, akan dapat Anda raih jika Anda memiliki kekuatan untuk
bertahan, jika Anda dapat tetap terfokus pada tujuan Anda dengan
intensitas yang cukup dan dengan satu tujuan.”
Aku bengong. Ini kata-kata
terindah yang pernah kubaca. Mungkin buku itu dikirim Tuhan padaku
sebagai perwujudan dari malaikat. Aku tertawa sendiri. Buku ini adalah
malaikat yang dikirim Tuhan? Kalau begitu, buku ini pasti punya sayap
tersembunyi. Aku pasti sudah gila. Makin hari, otak gue semakin kacau.
Berasa apa kalik gue kalau kayak gini terus. Ha-ha. Aku membaringkan
tubuhku lagi dan buku itu kuletakkan di atas dadaku, mencoba meresapi
semua kata-kata tadi. Aku bisa, ya, aku bisa meraih apa yang aku
inginkan. Tuhan selalu memberi jalan.
Ponselku berdering..
Ternyata aku tertidur tadi. Jeff
pasti sudah sampai dan sedang berusaha menelponku. Benar, Jeff
menelpon. Aku melempar ponselku ke meja dan segera berlari menuju ruang
tamu. Jeff sudah duduk disana dan tersenyum manis padaku. Aku membalas
dengan senyuman riang dan menghampirinya. Aku langsung memeluknya. Aku
bisa mencium wangi parfum Drakkar, parfum yang sangat dia sukai.
“Luna, aku tadi ngga ingin bangunin kamu. Jadi aku telpon aja biar kamu bangun sendiri.” Kata Jeff sambil tertawa.
“Itu sama aja bangunin aku.
Dasar. Tapi maaf ya aku ketiduran.” Aku merapikan kemeja Jeff. Dia
tampan hari ini. Dia juga terlihat sangat dewasa, mungkin karena dia
lebih tua dua tahun dariku sehingga aku sering melongo melihat gaya
berpakaiannya yang berbeda dari anak seumuranku. “Mama ngga bangunin
aku. Harusnya Mama bangunin aku.”
“Mama kamu ngga di rumah kok.”
“Loh? Tadi Mama di rumah.”
“Kata Bi Sami, Mama kamu lagi nyetorin tulisannya ke penerbit.”
“Oh.. emang dasar penulis ya ke penerbit terus kerjaannya.” Kataku ketus.
“Karena itu ‘kan nama kamu
Penaluna. Mama kamu penulis dan juga pelukis, seniman dehpokoknya. Pena
dan Luna. Penaluna Windy Arzen. ” Jeff mencubit pipiku.
“Tapi kalo Papa itu ‘kan investor. Berarti harusnya nama tengahku Investasi.”
Jeff tertawa terbahak-bahak. “Penaluna Investasi. Nama kamu keren banget!”
Aku memandang wajah Jeff. Cara
tertawanya yang begitu lepas dan juga mata coklatnya. Aku suka kedua
mata coklat itu. Jeffri Raditya, aku sudah pacaran dengannya semenjak
aku di kelas tiga SMP, sekitar tiga tahun yang lalu. Dia begitu berarti
bagiku.
“Oh iya, ngomong-ngomong soal
audisi, semuanya bukan salah kamu, sayang. Kamu udah usaha keras selama
ini buat bikin film pendek itu. Kita semua tahu kamu yang terbaik.
Mungkin Emma lagi lucky aja.” Jeff meraih tanganku.
“Kita semua? Siapa yang kamu
maksud kita semua? Mamaku? Papaku? Sahabatku sendiri, Kesly sama Manda?
Mereka pikir aku yang terbaik untuk ini?”
“Udahlah, sayang. Kamu harus
senyum. Ayo senyum..” Jeff menarik-narik kedua ujung bibirku dan
membuatku tidak bisa menahan tawa. Jeff selalu membuatku tersenyum dan
menjagaku. Dia segalanya. Sesuatu di dalam dirinya membuatku merasa
begitu berarti. Aku sangat mencintainya.
Sore itu Jeff mengajakku keluar
rumah hingga malam. Tentu saja untuk menghiburku. Dia membawaku ke
pasar malam di pinggiran Jakarta. Wahana bermain anak-anak yang
sederhana, penjual mainan, permen kapas, lampu-lampu malam, anak-anak
kecil dan tawa mereka. Semuanya membuatku merasa lebih baik. Membuatku
merasa seperti anak kecil lagi, saat aku bebas bermimpi seperti
kupu-kupu yang bebas terbang dan selalu merasa semuanya begitu mudah
untuk diraih.
Mobil Papa berhenti di depan
sekolah. Aku mencium pipi Papa dan langsung keluar mobil untuk
menghampiri Kesly dan Manda yang sudah berdiri di depan gerbang. Mereka
selalu menungguku disana setiap pagi sambil duduk-duduk di bangku bawah
pohon depan sekolah.
“Hey, you guys!” Sapaku dengan
senyum ceria sembari menarik mereka melewati gerbang sekolah. Kedua
sahabatku itu langsung menyerbuku dengan pertanyaan.
“Beneran Lun, Emma yang dari SMA
23 yang menang? Kok gue baru tau, loe ngga bilang-bilang.” Manda
dengan wajah penuh penasarannya.
“Iya, sengaja ngga gue sebarin. Gue malu.” Jawabku datar.
“Tuh ‘kan Lun, Teen Movie Maker
itu audisi yang susah banget. Hadiahnya aja ngga tanggung-tanggung:
langsung dapet project dan ikutan gabung bareng sutradara-sutradara
terkenal di berbagai seminar! Gila aja.” Kesly menarik tangan kananku
dan membuat beberapa bendel kertas tugas yang kupegang jatuh. “Eh..
maaf, Lun. Gue ngga sengaja. Maaf banget.”
Aku tersenyum kecut, sementara
Kesly memungut naskah yang berserakan di tanah. “Udah ngga apa-apa, Kes.
Sini kertasnya. Jalan ke kelas, yuk.”
Kelas masih sepi. Sepertinya
kami bertiga berangkat terlalu pagi. Aku memerhatikan anak-anak kelas
sepuluh dan sebelas lalu lalang di depan kelasku, mereka berteriak pada
anak-anak kelas duabelas dengan senyum mengembang di wajah mereka:
“Pagi, kak” “Have a nice day, kak.”. Terasa baru kemarin aku seperti
mereka, kesana kemari untuk menyapa kakak kelas yang paling senior. Itu
semacam tradisi sekolahku setiap pagi. Konyol memang. Tapi hal itu yang
akan selalu membuatku merindukan masa-masa SMA.
Aku masih tenggelam dalam
pikiraanku sendiri hingga aku teringat sesuatu. Aku langsung mengecek
tas. Dan benar saja setelah seisi tas aku acak-acak, aku ngga
menemukannya. CD film pendek gue hilang! Gue yakin gue masukin ke dalam
tas kemarin. Haduh bego banget gue sampe hilang gini. Kalo ilang, ya
mati gue. Aku buru-buru menelpon rumah untuk menanyakan CD itu ke Bi
Sami, mungkin saja dia melihatnya di kamarku. Tapi kata Bi Sami dia ngga
melihatnya. Haduh mati gue bisa mati!
“Kenapa, Lun? Kok muka loe aneh gitu?” Kesly yang duduk di sebelahku nyeplos.
“Ada yang hilang. Haduh bego banget gue.”
“Apaan yang hilang, Luna Lalunna?”
“Eh, ngga apa-apa kok. Barang
ngga penting he-he.” Aku nyengir. Kayaknya emang ngga usah dicari deh.
Seinget gue, masih ada back-up nya di rumah. Semoga aja ngga ditemuin
orang iseng.
Aku berpikir keras. Kira-kira
siapa yang menemukan CD film pendekku itu? Pencari bakat atau juri Teen
Movie Maker yang akhirnya menyadari bakatku dan memberiku kesempatan
kedua untuk jadi juara? Aku tertawa kecil. Aku menertawai kekonyolanku.
Kesly yang duduk sebangku denganku memandangiku aneh, tapi dia tahu
bagaimana aku saat bertingkah aneh, terutama saat aku tertawa sendiri
tanpa alasan, benar-benar seperti orang aneh. Dia membiarkanku lalu
kembali sibuk dengan buku tugas matematikanya.
Jauh dari perkiraanku, bukan
pencari bakat atau juri Teen Movie Maker yang menemukan CD itu, tapi
Ivan. Dia salah satu anak populer di sekolah, dia juga super tajir,
orangtuanya bukan orang sembarangan. Aku ngga pernah kenal dia, bahkan
ngobrol sekalipun engga. Tiba-tiba dia menghampiri mejaku saat aku masih
berkutat dengan PR matematika yang belum sempat aku kerjakan
semalam—sangat realita anak SMA—. Tangannya mengulurkan sebuah formulir
pendaftaran dengan kop bertuliskan Vancouver Film School.
“Luna Lalunna Penaluna, loe
jatuhin CD loe di depan ruang OSIS kemarin dan gue temuin. Demi apa film
pendek loe keren banget! Bener-bener ngga nyangka gue. Gue rasa loe
cocok masuk ke Sekolah ini. Bokap gue yang rekomendasiin.” Ivan
tersenyum padaku. Aku melongo, begitupun Kesly yang langsung menyerobot
formulir itu dari tangan Ivan.
“A-apa? Bokap loe? Gimana bisa? Maksud gue, loe bahkan ngga kenal gue, iya kan? Kok bisa?”
“Banyak nanya nih loe, Lun. Udah
ini terima aja formulirnya. Juga lampirin CD loe ini. Terus kirim ke
alamat yang ada di kop. Gue yakin loe ngga cuman diterima, beasiswa
bahkan udah nunggu elo. Bentar lagi 'kan kita juga udah lulus, jadi loe
bebas nglanjutin dimana aja.” Cetus Ivan sambil menyodorkan CD film
pendekku.
“Loe serius?” Aku masih memandangnya heran.
“Bokap gue nonton film pendek
loe. Gue sih yang ngajak dia buat nonton. Gue juga kenal loe. Luna
Lalunna Penaluna, si cewe cantik yang gue taksir dari kelas satu, tapi
sayang udah punya pacar. Btw, good luck, ya. Kabarin gue berita
baiknya.” Ivan nyelonong pergi dengan tawa di wajahnya. Luna Lalunna
Penaluna, si cewe cantik yang gue taksir dari kelas satu, tapi sayang
udah punya pacar. Aku bengong, ngga bisa ngomong apapun. Vancouver Film
School? Bahkan lebih hebat dari hadiah Teen Movie Maker!
Kesly melambaikan tangannya di depanku. “Penaluna, loe masih hidup, ‘kan?”
Beberapa bulan kemudian..
Jeff, Mama, Papa, Kesly, Manda,
dan Ivan. Satu-persatu dari mereka memberiku pelukan perpisahan. Pesawat
berangkat lima menit lagi. Iya, aku dapat beasiswa di Vancouver,
Amerika itu dan berangkat lima belas menit lagi, tepat lima belas menit
lagi. Ngga ada lagi yang memaksaku untuk jadi dokter, ngga ada lagi yang
meremehkanku karena paling tidak aku seudah membukitikan kemampuanku
pada mereka. Aku bisa meraih apa yang aku impikan. Yah, belum jadi
sutradara hebat juga, sih. Tapi ini sebuah pijakan awal. Selama ini aku
jadi orang aneh, terlalu terobsesi, semuanya karena aku ingin meraih apa
yang aku inginkan. Ada yang salah dengan bermimpi? Semua orang bebas
bermimpi. Semuanya berawal dari mimpi. Ngga ada yang bisa mengendalikan
masa depan kita selain diri kita sendiri, bukan orang lain. Terkadang
kabar baik juga datang dari orang yang sama sekali ngga terduga, dari
orang yang bahkan ngga terlintas di pikiran. Ivan si anak populer yang
entah gimana sekarang jadi salah satu sahabatku. Dia sangat berjasa
bagiku. Suatu saat aku akan membalasanya. Hmm.. dan tentang Jeff, dia
yang akan selalu di sisiku. Dia berarti segalanya. Dia belahan jiwaku.
Aku berjalan meninggalkan
orang-orang yang kusayangi. Tentu saja meninggalkan mereka untuk
sementara. Kulihat mereka tersenyum padaku. Senyum ceria mereka. Senyum
dengan rasa bangga mereka. Mereka melambaikan tangan padaku, mulut
mereka bergumam dan aku sama sekali tidak mengerti apa yang mereka
katakan. Tapi aku percaya mereka mengatakan ‘Kami mencintaimu, Lun’.
Luna Lalunna Penaluna. Well, ini bukan akhir, tapi permulaan dari sebuah akhir..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar